Anak
Berkebutuhan Khusus
A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa” yang
menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan
secara simpel sebagai anak yang lambat (slow)
atau mengalami gangguan (retarded) yang
tidak akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya.
Termasuk anak-anak berkebutuhan
khusus yang sifatnya temporer di antaranya adalah anak-anak penyandang traumatic syndrome disorder (PTSD)
akibat bencana alam, perang atau kerusuhan, anak-anak yang kurang gizi, lahir
premature, anak yang lahir dari keluarga miskin, anak-anak yang mengalami
depresi karena perlakuan kasar, anak-anak korban kekerasan, anak yang kesulitan
konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar, anak yang tidak bisa
membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak penyakit kronis, dan sebagainya.
Anak-anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu
dan lainnya. Di Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan
perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain sebagai berikut:
1. Anak
yang mempunyai gangguan penglihatan (tunanetra), khususnya anak buta (totally blind), tidak dapat menggunakan
indera penglihatannya untuk mengikuti segala kegitan belajar maupun kehidupan
sehari-hari. Umumnya kegitan beljaar dilakukan dengan rabaan atau taktil karena
kemamuan indera raba sangat menonjol untuk menggantikan indera penglihatan.
2. Anak
dengan gangguan pendengaran dan bicara (tunarungu wicara), mereka mempunyai
hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara lisan dengan
orang lain.
3. Anak
dengan gangguan perkembangan kemampuan (tunagrahita), memiliki masalah belajar
yang disebabkan adanya hambatan perkembangan intelegensi, mental, emosi,
sosial, dan fisik.
4. Anak
dengan gangguan kondisi fisik atau motorik (tunadaksa). Secara medis dinyatakan
bahwa mereka mengalami kelainan pada tulang, persendian, dan saraf penggerak
otot-otot tubuhnya, sehingga digolongkan sebagai anak yang membutuhkan layanan
khusus pada gerak anggota tubuhnya.
5. Anak
dengan gangguan perilaku maladjustment (tunalaras).
Karakteristik yang menonjol antara lain sering membuat keonaran secara
berlebihan, dan bertendensi ke arah perilaku criminal.
6. Anak
dengan gangguan autism (autistic
children). Anak autistic mempunyai kelainan ketidakmampuan berbahasa. Hal
ini disebabkan karena adanya cedera pada otak. Secara umum anak autistik
mengalami kelainan berbicara, kelianan fungsi saraf dan gangguan kemampuan
intelektual. Anak autistik mempunyai kehidupan sosial yang aneh dan terlihat
seperti orang yang selalu sakit, tidak suka bergaul, dan sangat terisolasi dari
lingkungan hidupnya.
7. Anak
dengan gangguan hiperaktif (attention
deficit disorder with hyperactive). Hyperactive bukan merupakan penyakit
tetapi suatu gejala. Gejala terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
kerusakan pada otak, kelainan emosional, kurang dengar, atau tunagrahita.
Ciri-ciri yang dapat dilihat antara lain selalu berjalan, tidak mau diam, suka
mengganggu teman, suka berpindah-pindah, sulit berkonsentrasi, sulit mengikuti
perintah, bermasalah dalam belajar, dan kurang atensi terhadap pembelajaran.
8. Anak
dengan gangguan belajar (learning
disability atau specific learning
disability). Istilah ini ditunjukkan pada siswa yang mempunyai prestasi
rendah dalam bidang akademik tertentu. Dalam bidang kognitif, umunya mereka
kurang mampu mengadopsi proses informasi yang datang pada dirinya melalui
penglihatan, pendengaran, maupun persepsi tubuh.
9. Anak
dengan gangguan kelainan perkembangan ganda (multihandicapped
and developmentally disable children). Sering disebut dengan istilah
tunaganda yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup hambatan-hambatan
perkembangan neurologis. Hal ini disebabkan oleh satu atau dua kombinasi
kelainan kemampuan pada aspek inteligensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi
di masyarakat.
Siswa-siswa yang mempunyai gangguan
perkembangan tersebut, memerlukan suatu metode pembelajaran yang bersifat
khusus. Suatu pola gerak yang bervariasi, diyakini dapat meningkatkan potensi
peserta didik dengan kebutuhan khusus dalam kegiatan pembelajaran (berkaitan
dengan pembentukan fisik, emosi, sosialisasi, dan daya nalar).
Esensi dari pola gerak yang mampu
meningkatkan potensi diri anak berkebutuhan khusus adalah kreativitas.
Kreativitas ini diperlukan dalam pembelajaran yang bermuatan pola gerak, karena
tujuan akhir dari suatu program pembelajaran semacam ini adalah perkembangan
kemampuan kognitf dan kemampuan sosial melalui kegitan individu maupun dalam
kegitan bersosialisasi.
Pandangan Islam Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus
Dalam penggalan surat di bawah ini
mengandung makna kesetaraan untuk bergabung bersama dengan mereka yang
berkebutuhan khusus seperti buta, pincang, bisu, tuli, atau bahkan sakit.
Mereka berhak untuk makan bersama, berkumpul bersama layaknya masyarakat pada
umumnya.
“Tidak ada halangan bagi orang
buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak
(pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka)di rumah kamu sendiri
atau di rumah-rumah bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudarmu yang
laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan,
di rumah sudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saura bapakmu yang
perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang
perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu.
Tidak ada halangan bagi kaum makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka
apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini)hendaklah kamu
memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu
sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya”. (Q.S.
An-Nuur ayat 61).
Bahkan asbabunnuzul dari QS. An-Nuur
ayat 61 ini adalah: pada masa itu masyarakat Arab merasa jijik untuk makan
bersama-sama dengan merekayang berkebutuhan khusus, seperti pincang, buta,
tuli, dan lainnya. Hal ini disebabkan cara makan mereka yang berbeda. Selain
itu masyarakat Arab pada masa itu merasa kasihan kepada merka yang berkebutuhan
khusus tersebut karena mereka tidak mampu menyediakan makanan untuk diri mereka
sendiri. Akan tetapi Islam menghapus diskriminasi tersebut melalui surat ini.
Masyarakat tidak seharusnya membeda-bedakan atau bersikap diskriminasi terhadap
anak berkebutuhan khusus.
B. Model Pembelajaran Anak
Berkebutuhan Khusus
Model pembelajaran anak berkebutuhan
khusus berdasarkan pada Kurikkulum Berbasis Kompetensi adalah pengembangan
lingkungan belajar secara terpadu. Pengembangan lingkungan secara terpadu
dimaksudkan dengan lingkungan yang mempunyai prinsip-prinsip umum dan
prinsip-prinsip khusus.
Prinsip-prinsip
umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterahan, hubungan sosial,
belajar sambil bekerja, individualis, menemukan, dan prinsip pemecahan masalah.
Sedangkan prinsip-prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik khusus dari
setiap penyandang kelainan. Misalnya, untuk peserta didik dengan hambatan
visual, diperlukan prinsip-prinsip kekongretan, pengalaman yang menyatu, dan
belajar sambil melakukan.
1. Rasionalitas
Layanan pendidikan dan pembelajaran di
Indonesia. Khususnya untuk sekolah luar biasa atau sekolah yang menerapkan
pendidikan inklusif, seyogianaya sejalan dan tidak terlepas dari
prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus. Kebijakan dan praktek
pendidikan berkebutuhan khusus dalam mengaplikasikan gerakan, sejalan dengan
prinsip pendidikan untuk semua atau education
for all sebagai hasil konferensi dunia di Salamanca pada tanggal 7 hingga
10 Juni 1994.
2. Visi
dan Misi
Visi
pembelajaran berdasarkan KBK, adalah membantu setiap peserta didik berkebutuhan
khusus untuk dapat memiliki sifat dan wawasan serta akhlak tinggi, kemerdekaan
dan demokrasi, toleransi dan mengjunjung hak azasi manusia, saling pengertian
dan berwawasan global (Mulyana, E. 2004:19).
Misi
pembelajaran berdasarkan KBK terhadap ABK adalah suatu upaya guru dalam
memberikan layanan pendidikan agar setiap peserta didik menjadi individu yang
mandiri, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur,
terampil, dan mampu berperan sosial (Mulyana,
E. 2004:20).
3. Tujuan
Pembelajaran Berdasarkan KBK
Berdasarkan visi dan misi pembelajaran
berdasarkan KBK, dapat ditentukan tujuan pembelajaran, antara lain sebagai
berikut.
a. Agar
dapat menghasilkan individu yang mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa
bantuan orang lain melalui kemampuan dirinya dalam menggunakan persepsi,
pendengaran, penglihatan, taktil, kinestetik, fine motor, dan gross motor.
b. Agar
dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan diri dan kematangan
sosial.
c. Menghasilkan
individu yang mampu bertanggung jawab secara pribadi dan sosial.
d. Agar
dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan untuk melakukan
penyesuaian diri dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial.
4. Isi
Program Pembelajaran
Isi program pembelajaran ABK dengan
memanfaatkan permainan terapeutik dikelompokan sebagai berikut.
a. Tingkat
perkembangan kemampuan fungsional dari setiap siswa tunagrahita, meliputi sensori
motor, kreativitas, interaksi sosial, dan bahasa.
b. Jenis-jenis
permainan terapeutik meliputi permainan eksplorasi, dan permainan memecahkan
masalah melalui permainan keterampilan, permainan sosialisasi, permainan
imajinatif, dan permainan memecahkan masalah melalui puzzle.
c. Sasaran
perkembangan perilaku adaptif atau target behavior dapat dicapai melalui
sasaran berupa pengembangan keterampilan psikomotor dari setiap siswa dalam
melakukan kegiatan permainan tertentu sebagai bentuk terapeutik. Selanjutnya
target behavior diarahkan agar mampu mencapai tingkat perkembangan kognitif.
5. Pendukung
Sistem Model Pembelajaran dengan KBK
Komponen pendukung sistem adalah
kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara, dan
meningkatkan program pembelajaran. Kegiatan-kegiatannya diarahkan pada hal-hal
berikut.
a. Pengembangan
dan manajemen program.
b. Pengembangan
staf pengajar.
c. Pemanfaatan
sumber daya msyarakat dan pengembangan atau penataan terhadap kebijakan dan
petunjuk teknis.
6. Komponen
Dasar Model Pembelajaran
Isi layanan pembelajaran dapat
dikelomokan ke dalam bagian-bagian sebagai berikut.
a. Masukan,
terdiri atas: (1) Masukan Mentah, berupa: elicitors,
behaviors, reinforcers. (2) Masukan Instrumen, berupa: program, guru kelas,
tahapan, dan sarana. (3) Masukan Lingkungan, berupa: norma, lingkungan, tujuan,
lingkungan, dan tuntutan.
b. Proses,
terdiri atas program pembelajaran individual, pelaksanaan intervensi, refleksi
hasil pembelajaran, dan KBK.
c. Keluaran
atau outcome, berupa perubahan kompetensi
setiap peserta didik Anak Berkebutuhan Khusus.
C. Pendidikan Inkluisi
Pendidikan inkluisi adalah pelayanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki salah satu kelompok yang
paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat.
Tapi ini bukanlah kelompok yang homogeny. Sekolah dan layanan pendidikan
lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan
siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan
pendidikan.
(Sekolah Inkulisi)
Pemerintah melalui PP. No. 19 tahun
2005 tentang Standar Nasioanal Pendidikan, pasal 41 (1) telah mendorong
terwujudnya suatu pendidikan inkluisi dengan menyatakan bahwa setiap satuan
pendidikan yang melaksanakan pendidikan inkluisi harus memiliki tenaga
kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi
peserta didik dengan kebutuhan khusus.
Sekolah inklusi adalah sekolah
regular yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa regular dan siswa
penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan
pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak
hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan
tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia
dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena
pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat
yang terkandung dimana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian
penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai,
dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Inklusi terjadi pada
semua lingkungan sosial anak, pada keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah,
dan institusi-institusi kemasyarakatan lainnya.
Daftar Pustaka
Delphie, Bandie. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: PT Retika Aditama. 2006
Daftar Pustaka
Delphie, Bandie. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: PT Retika Aditama. 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar